Mengapa kita beranggapan kalau mesin sudah "secerdas" manusia? (2/2)
The probability that this document is Human-generated: 97% (GPTZero)
Setelah kita mencermati dua contoh pemberitaan sebelumnya —Bill Gates dan Robot Optimus, termasuk juga memperhatikan berbagai pemberitaan media lainnya yang semisal dengan itu, tampaknya, kita sudah bisa melihat pola umumnya. Banyak berita tentang AI yang dibingkai dengan kesan dramatis, seolah-olah ada perubahan besar-besaran sedang terjadi dan manusia —tak lama lagi— akan tergantikan atau dianggap tidak lagi relevan di kehidupan modern ini. Salah satu contoh pemberitaan lainnya, baru-baru ini, Robot Humanoid di salah satu pabrik di China dikabarkan mendadak lepas kendali dan "mengamuk" saat para engineers tengah melakukan pengujian lapangan atau demonstrasi. Beberapa media dengan cepat mem-framing pemberitaan tersebut layaknya awal dari kebangkitan Skynet, sebagaimana yang digambarkan dalam film fiksi ilmiah Terminator. Pemberitaan tersebut semakin menjadi-jadi dengan beragam komentar warganet yang tak tentu arah. Berikut satu cuplikan video yang terkait dengan pemberitaan tersebut (alert: pastikan atur volume suara).
Cuplikan video seperti ini disaksikan oleh jutaan viewers di media sosial yang kita gunakan sehari-hari. Terpersepsi oleh indra, dan masuk ke dalam pikiran kita.
Yang disayangkan, narasi-narasi dari media semacam ini sering kali tidak diimbangi dengan penjelasan/klarifikasi teknis yang memadai. Sehingga akhirnya, malah memperkuat persepsi tentang potensi ancaman AI terhadap peran manusia. Akibatnya, kita menjadi mudah terjebak pada kesimpulan simplistic: bahwa jika satu tugas manusia bisa berhasil dilakukan oleh mesin cerdas, maka seluruh profesi manusia pun pasti dapat digantikan, cepat atau lambat. Dalam kasus robot humanoid tersebut, misalnya, sebagaimana yang dilaporkan oleh tim teknis bahwa insiden terjadi karena kesalahan pemrograman (coding error) pada sistem robot sehingga memicu adanya malfungsi —hal yang juga beberapa kali terjadi di laboratorium robotik tempat saya biasanya melakukan aktivitas penelitian. Jadi, insiden ini bukan disebabkan oleh mesin yang tiba-tiba memiliki kesadaran/kehendak untuk berontak terhadap manusia, namun justru lebih kepada masalah teknis yang dapat terjadi pada teknologi apapun ketika mengerjakan pekerjaan/tugas tertentu.
Sampai di sini, saya pikir cukup penting untuk kita lebih jauh membedakan antara kemampuan mesin dalam menyelesaikan pekerjaan/tugas (tasks) tertentu dengan kemampuan mesin dalam menggantikan profesi (jobs) secara utuh. Sebagai contoh, mari kita lihat kembali profesi dokter yang sudah pernah kita bahas sebelumnya. Betul, bahwa AI telah mencapai kemampuan yang sangat baik dalam berbagai tugas medis yang bersifat spesifik, sebut saja seperti AI yang dikembangkan oleh Google Health dalam sejumlah proyek risetnya. AI milik Google mampu mendeteksi kanker payudara dengan akurasi tinggi, setara dengan alat pemindai mammografi, dan berpotensi mengurangi tingkat kesalahan diagnosis yang sering terjadi akibat pembacaan manual oleh ahli radiologi. AI milik Google juga dapat membantu operator non-spesialis ultrasound dalam menilai usia kehamilan di wilayah dengan keterbatasan akses tenaga ahli. Google Health juga berhasil mengembangkan sistem berbasis AI untuk analisis pencitraan retina dan CT paru-paru. Namun, coba perhatikan baik-baik. Semua sistem berbasis teknologi AI ini bekerja pada level tugas (tasks) yang sangat spesifik, bukan bekerja secara utuh layaknya profesi (jobs) dokter. Sekali lagi, bukan bekerja layaknya dokter atau manusia.
Profesi dokter, bukan sekadar menginterpretasi satu-dua gambar lalu menampilkan hasil diagnosis pada layar. Teknologi AI, hanya mengambil sebagian kecil dari fungsi-fungsi utama seorang manusia terdidik dan terlatih yang hari ini kita semua memanggilnya bapak/ibu dokter. Memahami hal ini, maka, sebagaimana yang juga pernah disampaikan oleh Prof. Andrew Ng —seorang profesor di bidang ilmu komputer di Stanford University sekaligus pelopor teknologi AI modern, “AI doesn't replace jobs, it replaces tasks.” Dalam konteks ini, maka sebetulnya kita bisa katakan kalau AI hanya berfungsi untuk membantu dokter dalam menjalankan berbagai tugas-tugas teknis dan spesifiknya. Bukan menggantikannya secara utuh sebagaimana layaknya manusia yang hidup dan hadir di tengah-tengah pasien. Pemahaman yang sama juga berlaku untuk profesi-profesi manusia lainnya, seperti guru, pengacara, insinyur, arsitek, seniman, jurnalis, dan psikolog, yang meskipun tugas/tasks-nya dapat dibantu oleh teknologi AI, tidak lantas berarti profesi/jobs-nya akan sepenuhnya digantikan oleh AI atau mesin. Pada kasus teknologi AI & Google Health di atas, tidak sekalipun saya melihat ada humanoid robot yang tengah mengenakan jas putih lengkap dengan stetoskop di sana!

Satu Catatan Reflektif
Secara psikologis, kita —manusia— memang memiliki kecenderungan untuk memproyeksikan sifat-sifat manusiawi kepada benda mati di sekitar kita. Coba ingat, kapan terakhir kali kita berbicara kepada komputer di depan kita dengan nada setengah emosi sambil menggerutu, “Hey! Kenapa sih nggak mau jalan?!” Seolah-olah mesin itu bisa mengerti dan memahami perasaan kita. Atau, tanpa sadar, kita juga kerap kali menyalahkan kaki kursi ketika membentur jari kaki kita, bukan? Seakan-akan kursilah yang bersalah karena menghalangi jalan. Meskipun kecenderungan seperti ini wajar —menurut ilmu psikologi, saya pribadi berpandangan kalau bersikap tergesa-gesa atau ujug-ujug menyimpulkan bahwa mesin saat ini sudah "secerdas" manusia hanya karena satu-dua berita yang minim klarifikasi/penjelasan lanjut adalah kekeliruan yang perlu diluruskan. Ketika kita berinteraksi dengan chatbot yang tampak cerdas, atau mendengar suara AI yang terdengar fasih, kita sebaiknya tidak serta-merta langsung mempersonifikasi AI seolah-olah ia telah "mengerti", "secerdas", atau bahkan "memiliki perasaan" seperti manusia.
Tentu, tulisan ini tidak bermaksud mengecilkan atau menyepelekan berbagai resiko, atau bahkan ancaman, yang mungkin sudah —dan akan muncul— dari mesin yang tampak semakin "cerdas". Melainkan, tulisan ini memiliki tujuan agar kita semua bisa menempatkan suatu persoalan secara proporsional, dan bersikap lebih adil dalam menilai perkembangan teknologi seperti AI. Sebagai penutup, saya ingin membagikan tips praktis yang saya dapatkan dari Prof. Gary Marcus —seorang cognitive scientist yang terbilang cukup vokal dalam menyikapi hype-hype berlebihan seputar AI, yang saya pikir, dapat membantu kita semua dalam menyikapi berbagai narasi dan pemberitaan media sehari-hari secara lebih jernih dan kritis. Ada 5 pertanyaan berikut yang bisa selalu kita ajukan:
Dengan mengabaikan semua klaim bombastis yang ada, pertanyakan, apa yang sebenarnya dilakukan oleh sistem AI ini?
Apa ukuran keberhasilannya? Misal, jika AI diklaim bisa "membaca" kritis layaknya pakar/ahli, apakah itu berarti benar-benar memahami semua aspek membaca atau hanya menguasai sebagian kecil saja?
Apakah ada demo aplikasi yang bisa saya coba sendiri secara langsung? Kalau tidak ada, sama-sekali tidak masalah kalau kita mau bersikap skeptis.
Kalau ada klaim bahwa AI ini lebih hebat dari manusia, siapa manusia yang dimaksud? Awam, pelajar, mahasiswa, pejabat, atau siapa? Sehebat apa?
Seberapa handal sistemnya? Apakah AI tersebut tetap bisa bekerja baik di segala macam situasi, tanpa perlu banyak penyesuaian sana-sini?
Dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan tersebut, harapannya, bisa menjaga kita agar tidak terjebak dalam euforia atau ketakutan berlebihan, melainkan membantu kita agar tetap rasional dan kritis dalam merespon perkembangan teknologi yang pesat seperti AI. “It is far better to grasp the Universe as it really is than to persist in delusion”, begitu kalau kata Carl Sagan.
Thumbnail credits: Photo by Alex Knight on Unsplash