Mengapa kita beranggapan kalau mesin sudah "secerdas" manusia? (1/2)
The probability that this document is Human-generated: 99% (GPTZero)
Belakangan ini, media sosial kita selalu ramai dengan perbincangan terkait kemajuan teknologi AI yang gak ada habisnya. Mulai dari Optimus, robot humanoid bertenaga AI besutan Tesla milik Elon Musk, yang diklaim bisa mengerjakan beragam tugas rumit layaknya manusia, hingga kabar tentang gudang-gudang penyimpanan milik Amazon yang hampir sepenuhnya dioperasikan oleh mesin robot. Tak mau ketinggalan, baru-baru ini, OpenAI pun kembali mencuri perhatian publik dengan ChatGPT-nya yang mampu mengubah sebuah foto menjadi karya gambar/seni ilustrasi berkualitas tinggi, ala Studio Gibli —studio animasi terkenal di Jepang. Hasilnya? Akurat, dan sangat cepat. Sebuah proses kreatif yang mungkin dulu hanya bisa dicapai dengan kerja keras animator dan seniman profesional selama berhari-hari, bahkan berbulan-bulan lamanya. Kini, hal tersebut bisa dilakukan oleh siapa-pun, kapan-pun, dimana saja, dalam sekejap. Tak berhenti sampai disitu, berita-berita serupa pun masih terus bermunculan hingga hari ini.
Sebagian dari kita tampak takjub, bahkan mungkin takut, dengan kemajuan teknologi AI yang terus berkembang. Jika kita aktif mengamati berbagai percakapan di media sosial (khususnya Instagram/X), kita akan mendapati kalau tidak sedikit orang yang beranggapan kalau mesin-mesin hari ini sudah mencapai —bahkan melampaui— kecerdasan manusia. Pandangan ini semakin diperkuat oleh berbagai pemberitaan media yang sering kali hanya menyoroti klaim-klaim terkait kemampuan luar biasa yang dimiliki oleh AI. Pertanyaannya, benarkah mesin-mesin saat ini sudah melampaui kecerdasan manusia? Atau mungkin, kita hanya terbawa oleh narasi yang dibentuk lewat pemberitaan media yang tak selalu utuh? Bagaimana sebaiknya kita menyikapi semua berita-berita ini? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, mari kita tinjau bersama dua contoh berita berikut ini.
Yang pertama, saya ingin membahas satu berita yang baru saja saya baca pagi tadi ketika menempuh perjalanan di kereta. Ada sebuah prediksi yang menyatakan kalau profesi dokter dan guru akan hilang karena tergantikan oleh AI. Prediksi ini datang dari Bill Gates, yang baru-baru ini berbicara tentang masa depan kecerdasan buatan (AI) dalam acara The Tonight Show Starring Jimmy Fallon. Dalam perbincangan tersebut, pendiri Microsoft yang juga dikenal sebagai salah satu filantropis terkemuka di dunia ini mengatakan bahwa dalam kurun waktu 10 tahun ke depan, manusia tidak akan lagi dibutuhkan. “Humans won’t be needed for most things,” demikian bunyi kalimatnya. Pernyataan ini bisa dibilang cukup ekstrem —dan provokatif.
Namun yang menarik, kalau kita memperhatikan lebih seksama isi percakapan tersebut, mencermati kata-demi-kata, Bill Gates sebenarnya tidak secara eksplisit mengatakan kalau AI akan sepenuhnya menggantikan dua profesi tersebut. Sekali lagi, dua-profesi-tersebut. Beliau tidak menyatakan demikian. Obrolan yang berlangsung cukup singkat tersebut lebih berfokus pada pandangan umum beliau tentang masa depan AI & manusia kelak di masa depan. Bukan suatu penegasan kalau AI akan sepenuhnya mengambil alih profesi-profesi tersebut. Penggunaan kata "replace" atau "menggantikan" yang muncul di banyak platform media, bagi saya pribadi, terasa berlebihan dan mengada-ngada. Bill Gates sama sekali tidak memberikan kesimpulan demikian, tapi kemasan (interpretasi) media lah yang "bergeser" ke arah sana. Seperti yang terlihat di satu judul berita berikut.
Isi percakapan malam tersebut bisa pembaca simak secara lengkap melalui video berikut.
Sekarang, ada pertanyaan penting yang tampaknya tetap perlu kita pikirkan: apakah sebetulnya mesin yang bekerja secara mekanistik ini pada akhirnya benar-benar bisa menggantikan posisi dokter dan guru? Saya pribadi agaknya masih skeptis dengan kemungkinan tersebut. Tentu, sikap saya ini bukan tanpa alasan. Jika kita coba melihat profesi dokter lebih jauh, meskipun AI hari ini mungkin sudah bisa membantu dalam proses diagnosis penyakit dengan menganalisis data medis atau foto X-ray dalam jumlah besar, di dunia kedokteran, ada banyak keputusan yang memerlukan pertimbangan yang jauh lebih kompleks dan bersifat manusiawi. Pekerjaan dokter bukan cuma persoalan memilih obat berdasarkan pola (meaningful pattern) pada data, tapi lebih dari sekadar itu. Sebut saja kemampuan empati yang menjadi salah satu aspek fundamental dalam profesi yang berhubungan langsung dengan manusia, seperti dokter dan guru.
Dalam kajian filsafat, konsep empati sendiri punya makna yang dalam, karena ia terhubung langsung dengan konsep kesadaran diri (self-awareness). Seorang dokter, misalnya, tahu bahwa dia juga bisa jatuh sakit, atau mungkin dia sendiri pernah merasakan ketakukan atau kecemasan yang mirip dengan apa yang dialami pasiennya. Sedangkan AI, meskipun sekarang mampu mengenali pola perilaku dan ekspresi wajah pasien, ia tidak (dan tidak akan pernah) memiliki pengalaman subjektif (subjective experience) atau kesadaran diri (consciousness). AI tidak tahu apa rasanya cemas, takut, sakit, atau bahagia. AI bahkan tidak memahami eksistensi/hakikat keberadaan dirinya sendiri. AI mungkin bisa memberikan rekomendasi yang sangat akurat (well predicted) berdasarkan data, tetapi, ia tidak akan pernah "merasakan" emosi atau memberikan respon emosional pada tingkat yang sama seperti yang umumnya dapat dilakukan oleh manusia terdidik dan terlatih, seperti dokter.
Belum lagi, kalau kita mau berbicara tentang keterbatasan fisik yang dimiliki oleh AI, maka perbincangan terkait keterbatasan AI —termasuk robot atau mesin pada umumnya— ini sebetulnya tidak akan pernah ada habisnya. Tuhan menganugrahkan tangan kepada manusia dengan 27 sendi, sementara robot saat ini umumnya hanya memiliki 6 sendi (DoF —degree of freedom) saja.

Berbicara soal keterbatasan fisik, sekarang, mari kita tinjau berita menarik kedua terkait robot Tesla Optimus yang diklaim —oleh Elon Musk— bisa melakukan apa saja ("Can Do Anything You Want"). Robot ini dirancang sebagai pekerja serba-bisa, dengan kemampuan mekanistik untuk menjalankan berbagai tugas fisik yang biasanya dikerjakan manusia, seperti membawa barang, membantu pekerjaan rumah, bahkan berkomunikasi dan berinteraksi dengan sesama manusia. Pertanyaan penting yang muncul, sejauh mana robot seperti ini betul-betul bisa melakukan —atau bahkan menggantikan— peran manusia? Apa yang sebetulnya Elon maksud dengan "anything"? Apakah unlimited possibilities? No restrictions at all? Anything with some exceptions, atau apa? Dan bagaimana kita bisa membuktikan kebenaran klaim tersebut? Sebagai netizen yang budiman, kita tentu berhak mengetahui atau bahkan mengkritisi maksud sebenarnya.

Bagaimana jika robot seperti Optimus diminta mengerjakan PR sekolah? Atau menjaga bayi yang baru berusia 18 bulan? Atau membantu merakit meja belajar yang baru dipesan di e-commerce kesayangan kita? Meskipun robot semacam ini tampak tampil serupa manusia, apa betul itu berarti robot tersebut benar-benar bisa menggantikan fungsi manusia seutuhnya? Secara teknis, mesin robot sangat bergantung pada keterbatasan komponen utamanya seperti kamera, lidar, radar, motor dan aktuator. Masing-masing punya engineering limitation, sehingga tidak bisa serta-merta dianggap sama seperti mata atau tangan manusia. Termasuk baterai untuk konsumsi energi yang diperlukan. Coba bayangkan, bagaimana jika daya habis ketika si robot sedang melakukan pekerjaan beresiko, seperti memasak dengan peralatan panas seperti kompor atau oven? Atau bagaimana jika lampu mati ketika robot tengah menggunakan benda tajam, seperti pisau? Pertanyaan-pertanyaan semacam ini —yang tidak akan pernah ada habisnya— akhirnya akan membuat kita berpikir ulang tentang kemungkinan kesiapan mesin tersebut.
Lantas, apa yang kemudian Elon Musk maksud dengan "anything you want", pada robot Optimus yang kabarnya akan siap diproduksi massal di penghujung 2025 nanti? Jika ditanya demikian, tentu saya tidak bisa menjawabnya dengan pasti. Biar waktu yang menjelaskan apa maksud dari klaim tersebut. Namun setahu saya, Elon Musk merupakan sosok yang terkenal dengan banyak visi/janji-janji besar terkait teknologi. Betul, Elon Musk berhasil membawa Tesla menjadi perusahaan mobil listrik terkemuka. Tapi tidak sedikit juga prediksi-prediksi besar beliau yang meleset —atau minimal tidak tepat janji. Lalu tidak jarang media mengemas klaim-klaim tersebut sehingga terkesan menjadi lebih sensasional.
Pembahasan ini akan kita lanjutkan pada tulisan seri berikutnya.
Thumbnail credits: Photo by Possessed Photography on Unsplash