Antara peneliti, pebisnis dan pengguna AI, siapa pantas bicara?
Menyoal pernyataan & pertanyaan penting tentang teknologi AI
The probability that this document is Human-generated: 95% (GPTZero)
"Saya pakai AI buat ngerjain tugas kuliah. Tinggal copy-paste, langsung beres!"
"Dengan tools AI, bisnis kamu bisa naik 10x lipat hanya dalam satu bulan!"
“AI bakal menggantikan banyak pekerjaan manusia dalam 5 tahun ke depan.”
“Kalau kita terus kembangkan AI, suatu saat AI bisa memberontak kayak di film.”
“Negara yang pertama berhasil bikin AGI pasti akan menguasai dunia.”
“AI hanya sekadar tools kok, pada akhirnya kita sebagai pengguna harus pintar.”
“Semua orang mesti pakai AI tanpa terkecuali!”
Pernyataan-pernyataan semacam ini sering kita temui hari-hari ini. Teknologi AI memang bukan lagi sekadar perbincangan eksklusif di ruang akademik atau laboratorium penelitian. Dalam beberapa tahun terakhir, AI berhasil menyebar ke ruang-ruang publik dengan sangat cepat. Ia dibicarakan oleh siswa-siswa yang aktif menggunakan ChatGPT di sekolah, oleh para content creator yang membuat video “cuan dari AI”, oleh para pebisnis yang ingin merombak dan mengotomatisasi operasional perusahaannya, hingga oleh pemerintah yang sedang sibuk merancang strategi nasional. Tidak berlebihan jika dikatakan: all eyes on AI. Namun, seiring dengan meluasnya perhatian publik terhadap AI, muncul pula fenomena yang patut dicermati: semua orang merasa berhak bicara tentang segala hal yang berkaitan dengan AI. Batas antara komentar pengguna, opini spekulatif, narasi promosi, dan argumen ilmiah menjadi semakin kabur. Semua terdengar sama, seolah-olah setara, seolah setiap pendapat sah tanpa harus mempertimbangkan kapasitas dan posisi bicara. Fenomena semacam ini dikenal dengan istilah AI Bubble.
Di tengah kebisingan ini, setidaknya kita bisa melihat ada tiga kelompok aktor yang tampil mencolok: peneliti, pebisnis, dan pengguna. Masing-masing aktor merespon dan menyikapi teknologi AI hari ini dengan cara yang mencerminkan pengalaman, kepentingan, termasuk —semestinya— kapasitas dan kewenangan berpikir mereka. Dari sinilah kemudian terbentuk kepantasan untuk membuat beragam pernyataan hingga menjawab berbagai pertanyaan perihal teknologi AI. Melalui tulisan ini, mari kita kenali mereka satu per satu.
Peneliti AI
Secara keilmuwan, para peneliti AI adalah aktor yang memiliki relasi paling dekat dengan teknologi AI. Mereka merupakan pihak yang pertama kali menggagas, mengembangkan, dan memahami secara mendalam cara kerja suatu teknologi —baik dari sisi algoritmik, arsitektur model, hingga prinsip-prinsip matematis yang mendasarinya. Jika ia adalah peneliti aktif, maka kemungkinan besar ia tahu perkembangan algoritma AI paling mutakhir —bahkan yang baru muncul hari ini, detik ini. Kepentingan utama mereka umumnya terletak pada motivasi pencarian dan pengembangan ilmu pengetahuan dari zaman ke zaman (standing on the shoulders of giants, kalau meminjam istilah Isaac Newton). Mereka tidak sekadar menggunakan AI, tapi mengerti batasan teknis untuk bisa membuat AI menjadi lebih akurat, cepat, dan murah. Mereka bekerja dalam lingkungan riset yang menuntut bukti empiris, verifikasi ketat, dan kontribusi ilmiah yang bisa dipertanggungjawabkan.
Di kelompok aktor ini, kita mengenal sejumlah tokoh utama yang kerap dianggap sebagai AI Stars, seperti Prof. Fei-Fei Li, Yann LeCun, dan Geoffrey Hinton —ketiganya adalah ilmuwan komputer di universitas-universitas bergengsi seperti Stanford, NYU dan Toronto. Selain itu, ada juga Demis Hassabis, yang baru-baru ini meraih Hadiah Nobel atas kontribusinya sebagai ilmuwan teknologi AI dari Google DeepMind. Sebetulnya, istilah "peneliti AI" tidak perlu dimaknai secara sempit hanya sebatas ilmuwan komputer. Ia juga bisa mencakup para matematikawan yang merancang logika formal dan pemodelan matematis, serta ahli cognitive neuroscience yang mengerti cara kerja otak manusia. Dalam konteks ini, ragam pertanyaan yang sangat mungkin diutarakan dan pantas untuk dijawab oleh aktor ini meliputi:
“Apakah AI benar-benar memahami apa yang kita katakan?”
“Apakah AI bisa membuat kesalahan?”
“Kenapa terkadang AI bisa bias? Karena kesalahan manusia atau sistemnya?”
“Mengapa AI kadang terlihat sangat pintar, tapi kadang juga bodoh?”
“Bagaimana cara AI belajar? Apa itu Machine Learning? Deep Learning?”
“Seberapa dekat kecerdasan buatan dengan kecerdasan manusia?”
Betul, kalau dikatakan bahwa peneliti AI bukan lah satu-satunya otoritas yang bisa menjawab semua ragam pertanyaan tentang teknologi AI. Namun yang pasti, tidak tepat jika pertanyaan-pertanyaan di atas justru diajukan kepada mereka yang baru-baru ini lagi keranjingan belajar teknik prompting efektif di ChatGPT, padahal kapasitasnya "hanya" sebatas pengguna.
Pebisnis AI
Berbeda dengan peneliti, para pebisnis AI memiliki kepentingan yang berorientasi pada efisiensi, keuntungan finansial, dan daya saing pasar. Mereka melihat AI sebagai peluang besar untuk disrupsi industri, dan alat untuk meningkatkan profit perusahaan. Sangat pragmatis, dan tidak salah. Selama itu dikerjakan dengan tujuan dan cara yang dibenarkan. Mereka adalah aktor yang membantu memastikan bahwa teknologi AI tidak hanya hidup di jurnal-jurnal akademik, tetapi juga sampai ke tangan pengguna dan menjawab kebutuhan riil masyarakat. Mereka umumnya memahami dengan baik pain points pasar, dan memiliki intuisi tajam terkait product-market fit —apakah produk teknologi benar-benar menyelesaikan masalah.
Sebut saja nama besar yang berperan sebagai aktor pebisnis AI seperti Mark Zuckerberg (Meta) dan Alexandr Wang (Scale AI) yang belakangan ini sedang ramai diperbincangkan di media sosial. Mark bersama Meta berperan untuk mengintegrasikan teknologi AI untuk mengelola miliaran interaksi sosial di platform mereka. Hingga Meta berhasil masuk di daftar perusahaan terkaya di dunia. Di sisi lain, Wang dengan tangan dinginnya menyediakan infrastruktur pelabelan data dan pipeline AI yang bekerja secara masif dan dibutuhkan oleh banyak pebisnis AI. Juga tidak ketinggalan sosok pebisnis raksasa hari ini seperti Jensen Huang, CEO NVIDIA. Mereka melihat AI bukan sebagai objek penelitian, melainkan sebagai motor penggerak di satu ekosistem digital abad ini. Maka wajar jika pertanyaan yang pantas diajukan ke aktor ini meliputi berikut:
“Seberapa besar efisiensi perusahaan yang dihasilkan dari otomatisasi dengan AI?”
“Apakah AI sudah cukup siap untuk menjawab kebutuhan pasar saat ini?”
“Bagaimana AI memberi pengaruh signifikan ke peningkatan profit?”
“Prediksi adopsi teknologi AI dalam 5 tahun ke depan?”
“Apakah minat investor terhadap AI masih tinggi?”
Berdasarkan hal tersebut, menurut hemat saya, termasuk kurang tepat jika kita bertanya, "Apakah kita mesti menggunakan AI?" kepada kelompok aktor ini. Kenapa? Karena umumnya para pelaku bisnis bekerja dengan logika yang didorong oleh kepentingan kompetisi dan profitabilitas, termasuk kepentingan pragmatis agar AI diadopsi seluas-luasnya. Ibaratnya, seperti bertanya apakah kita sebaiknya berkendara dengan sepeda motor kepada pemilik Honda/Yamaha. Tidak melulu salah, tapi tentunya tinggi potensi terhadap bias kepentingan.
Pengguna AI
Selanjutnya, kelompok aktor yang paling luas dan beragam dalam diskursus ini: pengguna AI. Kepentingan mereka umumnya bersifat praktis dan situasional. Misalnya, menyalin jawaban dari ChatGPT untuk menyelesaikan tugas, menggunakan Google Translate atau DeepL untuk alih-bahasa saat menulis pesan, membuat modul atau tutorial tentang prompting efektif di Midjourney & DALL·E, atau sekadar mengikuti tren membuat konten dengan Capcut AI. Kapasitas berpikir mereka tentu sangat bergantung pada latar belakang masing-masing. Ada yang cukup kritis dan berhati-hati, tetapi tidak sedikit pula yang mengakses teknologi ini tanpa benar-benar memahami cara kerjanya —apatah lagi implikasi etisnya. Menariknya, kelompok aktor inilah yang justru sering menjadi pihak paling vokal dalam menyuarakan pentingnya menggunakan teknologi AI hari ini. Influencer cuan dengan AI misalnya.
Namun yang saya amati, sayangnya, semangat tersebut seringkali tidak disertai dengan kebijaksanaan dalam menempatkan diri pada proporsinya. Secara aktif menggunakan AI setiap harinya tampak disalahartikan sebagai tanda sudah memiliki pemahaman yang mendalam. Padahal keduanya adalah hal yang berbeda. Akibatnya? Muncul asumsi atau klaim berlebihan sana-sini, seperti anggapan bahwa AI akan menggantikan banyak pekerjaan manusia, AI lebih pintar dari manusia, semua orang harus pakai AI agar tidak tertinggal zaman dan semisalnya. Semua penilaian gegabah ini seringnya berpangkal dari logika deterministik (dalam bahasa filsafat teknologi), yang seolah mengamini anggapan: karena teknologi berkembang, maka kita wajib mengikutinya. Padahal, tidak semua perkembangan berarti kemajuan. Tidak semua kemajuan, layak diadopsi. Catatan: di sini saya tidak lagi mempermasalahkan apakah klaim-klaim tersebut benar/salah, melainkan mempertanyakan kepantasan kelompok aktor ini dalam membuat klaim dan penilaian.
Walaupun demikian, sebagian pernyataan-pernyataan mereka tetaplah penting untuk diperhatikan, karena bisa menjadi sumber data (etnografi) yang sebetulnya bernilai bagi para peneliti AI itu sendiri. Melalui data-data tersebut, para peneliti akhirnya bisa memahami bagaimana AI digunakan dan dimaknai dalam kehidupan sehari-hari para pengguna. Dari sana teknologi AI menjadi mungkin untuk terus dievaluasi, dikembangkan, dan diminimalisir segala resikonya. Berikut adalah daftar pertanyaan yang sebetulnya lebih pantas dijawab oleh kelompok aktor pengguna AI:
“Apakah kamu betul-betul terbantu dalam menyelesaikan tugas di kantor?”
“Apa fitur yang dirasa paling berguna dari AI yang satu ini?”
“ChatGPT atau Gemini, kamu pilih yang mana, dan kenapa?”
“Ada gak kekhawatiran saat menggunakan teknologi AI ini?”
“Apa harapan kamu terhadap pengembangan AI di masa mendatang?”
Aktor yang terlupakan
Dari banyak pertanyaan penting yang kerap diajukan di atas, ada segelintir pertanyaan yang paling mendasar —namun ironisnya, justru jarang sekali kita ajukan: “Apa makna dari semua ini? Untuk apa, dan untuk siapa semua ini dibangun?” Pertanyaan-pertanyaan eksistensial semacam ini, alih-alih menjadi landasan awal, sering kali malah baru muncul saat semuanya sudah berjalan terlalu jauh dan melaju terlampau cepat. Ironisnya lagi, ketika pertanyaan penting itu muncul, kita justru cenderung mengajukannya kepada kelompok aktor yang sebenarnya tidak pantas untuk memberikan jawaban yang bisa dipertanggungjawabkan. Atau sebaliknya, kelompok aktor tersebut yang tidak menakar kepantasan diri untuk mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan non-trivial tersebut.
Terkait ini, akan saya bahas secara khusus di tulisan berikutnya berjudul: Satu kelompok aktor yang terlupakan.
Thumbnail credits: Photo by Katja Anokhina on Unsplash
makasih bang Angga, di sela kesibukannya masih mau share via tulisan kyk gini. sangat bersyukur bisa dapet insight menarik langsung dari peneliti AI. sangat jarang baca tulisan yg bisa ngebahas 3 aktor AI kyk gini, biasanya cuma dari POV pengguna/conten creator aja atau bisnis aja